Rabu, 21 Januari 2009

Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia sejak krisis moneter dinilai meningkat

JAKARTA - Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia sejak krisis moneter

dinilai meningkat. Tercatat tiga bulan belakangan ini, sebanyak 1.200 warga
Jakarta datang memeriksakan diri ke berbagai dokter dan rumah sakit jiwa karena
menderita gangguan jiwa.

"Banyak orang yang mengalami gangguan jiwa, tetapi tidak semua mau datang untuk
berobat ke rumah sakit jiwa. Umumnya yang datang ke rumah sakit jiwa itu, ketika
pasien sudah dalam taraf gangguan jiwa berat", ujar Dr H Aminullah Sp KjMM,
Ketua Ikatan Rumah Sakit Jiwa Indonesia (IRJI), kepada wartawan, di sela-sela
acara Konferensi Nasional Keperawatan Kesehatan Jiwa I di Bogor, Kamis (30/9).

Menurut Aminullah, mereka yang datang ke rumah sakit jiwa itu umumnya mulai dari
gejala gangguan kejiwaan ringan sampai berat. Sementara upaya pengobatan dari
100 persen tidak mungkin dilakukan. Terhadap para penderita gangguan jiwa itu,
hanya 30 sampai 40 persen pasien gangguan jiwa bisa sembuh total, 30 persen
harus tetap berobat jalan, dan 30 persen lainnya harus menjalani perawatan
institusional, atau diinapkan di panti-panti.

Dibanding ratio dunia yang hanya satu permil, masyarakat Indonesia yang telah
mengalami gangguan kejiwaan ringan sampai berat telah mencapai 18,5 persen.

Akibatnya, kreatifitas masyarakat Indonesia menjadi rendah. Harus diwaspadai,
sulit tidur saja, itu sudah merupakan gejala gangguan kejiwaan. Walaupun
kadarnya masih ringan. "Tapi itu tak bisa dibiarkan, karena akan berkembang ke
tahap yang lebih menjurus ke penyakit jiwa lebih berat. Jika si penderita sulit
tidur ini terus menerus mengalami stressor, gangguan akibat tekanan kehidupan
dan persaingan keras di kota besar Jakarta, maupun di kota-kota besar lainnya di
Indonesia," ujarnya.

Aminullah menjelaskan, gangguan kejiwaan seseorang itu bisa terdekteksi secara
dini dengan melihat tiga aspek yakni, kurang mampu kreativitas, gangguan di
dalam fungsi sosialnya serta adaptasinya yang terganggu. Yang menyebabkan orang
menderita gangguan jiwa itu, diantaranya akibat gangguan biologis dan pola asuh
secara psikologis terhadap orang yang terditeksi secara dini.

Dalam kondisi sekarang ini, lanjutnya, banyak orang yang mengalami gangguan
kejiwaan, lebih dahulu mendatangi atau berobat alternatif. Setelah mengalami
tahapan berat, baru mendatangi dokter atau rumah sakit jiwa. Padahal, jika sejak
awal keluarga paasien telah berani konsultasi dengan ahli kejiwaan, sehingga
sejak dini sudah bisa diketahui penyebabnya, termasuk pengobatannya bisa
berjalan cepat.

Achir Yani Hamiod DNSc, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia menambahkan,
gangguan kejiwaan terdiri dari tiga faktor, yang disebut biopsychososial
spiritual. Yaitu gangguan biologik yang mengakibatkan kemampuan otak berkurang.
Kemudian gangguan psikologik yang umunya dialami para anak-anak sekarang atau
anak masa depan, dengan kerasnya persaingan hidup dan semakin merebaknya alih
teknologi dan ilmu saat ini.

Disini sangat memerlukan asuhan dan perawatan para orangtua, yang berawal dari
kepribadian anak yang rendah diri atau tidak mempunyai kepercayaan diri, yang
umumnya akibat stressor berat dan berlanjut ke taraf rasa kegelisahan tinggi..
Sedangkan faktor ketiga, gangguan sosial budaya.

Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Marzoeki Mahdi Bogor, Dr.
Djunaedi Cakrawerdadja mengatakan, orang yang terganggu jiwanya dan berobat ke
RSJ MM Bogor juga meningkat. Tercatat pasien yang datang untuk berobat di RSJ
Bogor itu mencapai 450 orang lebih. Dari jumlah itu, 50 orang adalah pasien
pecandu narkoba dengan terinfeksi penyakit Hepatitis C mencapai 80 persen dan
terinfeksi HIV mencapai 60 persen.

Sedangkan 350 orang pasien karena gangguan jiwa dan 50 orang lainya bersifat
penayanan umum di Rumah Sakit Jiwa(RSJ) MM Bogor. "Memang untuk kasus narkoba,
secara nasional terjadi pula trend peningkatan, dan umumnya terjangkit hepatitis
c dan HIV akibat peralatan seperti jarum suntik saat mengonsumsi narkoba tidak
steril," ujar Djunaedi.

Ketua Panitia Konferensi Nasional Keperawatan Kese-hatan Jiwa I , Dr.Budi Anna
Keliat Skp MapSc, mengatakan, konferensi yang diikuti oleh sedikitnya 200 orang
tenaga medis dan para medis bidang kejiwaan, utusan rumah sakit jiwa, rumah
sakit umum dan puskesmas se Indonesia ini akan dijadikan ajang kesepakatan dan
kesepahaman seluruh tenaga medis dan para medis bidang kejiwaan, pentingnya
sosialisasi gangguan jiwa terhadap masyarakat dan keluarga. Karena saat ini,
penanganan masalah gangguan kejiwaan, dilakukan secara holistik.

Sehingga, harus ditangani sejak dini. Karena banyak kasus, pasien penderita
gangguan kejiwaan, datang setelah dua tahun menderita. Walau, umumnya keluarga
para penderita itu, selalu mengaku baru satu pekan. Mulai si penderita mengalami
gangguan ringan, seperti siswa mulai malas sekolah, gangguan menyesuaikan diri,
kemudian gangguan interpersonal atau hubungan/interaksi kerjasama dengan orang
lain, sampai yang terakhir ketika penderita mulai mengalami gangguan realitas
dan halusinasi.

"Inilah yang selalu dilakukan pihak keluarga, saat penderita sudah mencapai
taraf gangguan realitas di barengi halusinasi, baru datang ke dokter atau rumah
sakit jiwa. Keluhan keluarga penderita yang melakukan hal itu, akan
memperpanjang rendahnya produktivitas masyarakat Indonesia," ujar Budi Anna.
(126)

Skizofrenia
Apa sebenarnya skizofrenia? Siapa saja yang bisa terkena penyakit yang menyerang otak ini? Bagaimana penyakit ini menyerang manusia? Apa saja gejalanya? Pertanyaan-pertanyaan ini kerap melingkupi kaum awam atau keluarga yang salah satu anggota keluarganya menderita skizofrenia.

Menurut situs resmi www.schizophrenia.com, skizofrenia adalah penyakit yang diakibatkan gangguan susunan sel-sel syaraf pada otak manusia.

Umumnya ada dua macam penyakit yang biasa disebut gila ini, yaitu neurosa dan psikosa. Skizofrenia termasuk psikosa. Penyebabnya sampai kini belum diketahui secara pasti, namun disebutkan faktor keturunan bisa menjadi salah satu penyebab.

Bahkan, faktor genetik tampaknya sangat dominan. Menurut penelitian, apabila saudara ayah-ibu menderita skizofrenia, maka anak memiliki potensi sebesar 3% untuk mengidap skizofrenia. Apabila ada salah satu saudara sekandung yang menderita, maka anak berpotensi menderita skizofrenia sebesar 5%-10%.

Lantas bagaimana dengan saudara kembar? Apabila tidak kembar identik, maka potensinya 5%-10%, sementara untuk anak kembar identik potensi menderita skizofrenia sebesar 25%-45%. Sedangkan jika penderita skizofrenia adalah salah satu dari kedua orang tua, maka anak berpotensi sebesar 15%-20%. Skizofrenia bisa menyerang laki-laki dan perempuan. Kebanyakan perempuan yang mengidap penyakit ini adalah mereka yang berusia 20 hingga awal 30-an tahun. Sementara pada kelompok jenis kelamin laki-laki lebih dini, yakni akhir usia remaja hingga awal 20-an tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar