Rabu, 21 Januari 2009

Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia sejak krisis moneter dinilai meningkat

JAKARTA - Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia sejak krisis moneter

dinilai meningkat. Tercatat tiga bulan belakangan ini, sebanyak 1.200 warga
Jakarta datang memeriksakan diri ke berbagai dokter dan rumah sakit jiwa karena
menderita gangguan jiwa.

"Banyak orang yang mengalami gangguan jiwa, tetapi tidak semua mau datang untuk
berobat ke rumah sakit jiwa. Umumnya yang datang ke rumah sakit jiwa itu, ketika
pasien sudah dalam taraf gangguan jiwa berat", ujar Dr H Aminullah Sp KjMM,
Ketua Ikatan Rumah Sakit Jiwa Indonesia (IRJI), kepada wartawan, di sela-sela
acara Konferensi Nasional Keperawatan Kesehatan Jiwa I di Bogor, Kamis (30/9).

Menurut Aminullah, mereka yang datang ke rumah sakit jiwa itu umumnya mulai dari
gejala gangguan kejiwaan ringan sampai berat. Sementara upaya pengobatan dari
100 persen tidak mungkin dilakukan. Terhadap para penderita gangguan jiwa itu,
hanya 30 sampai 40 persen pasien gangguan jiwa bisa sembuh total, 30 persen
harus tetap berobat jalan, dan 30 persen lainnya harus menjalani perawatan
institusional, atau diinapkan di panti-panti.

Dibanding ratio dunia yang hanya satu permil, masyarakat Indonesia yang telah
mengalami gangguan kejiwaan ringan sampai berat telah mencapai 18,5 persen.

Akibatnya, kreatifitas masyarakat Indonesia menjadi rendah. Harus diwaspadai,
sulit tidur saja, itu sudah merupakan gejala gangguan kejiwaan. Walaupun
kadarnya masih ringan. "Tapi itu tak bisa dibiarkan, karena akan berkembang ke
tahap yang lebih menjurus ke penyakit jiwa lebih berat. Jika si penderita sulit
tidur ini terus menerus mengalami stressor, gangguan akibat tekanan kehidupan
dan persaingan keras di kota besar Jakarta, maupun di kota-kota besar lainnya di
Indonesia," ujarnya.

Aminullah menjelaskan, gangguan kejiwaan seseorang itu bisa terdekteksi secara
dini dengan melihat tiga aspek yakni, kurang mampu kreativitas, gangguan di
dalam fungsi sosialnya serta adaptasinya yang terganggu. Yang menyebabkan orang
menderita gangguan jiwa itu, diantaranya akibat gangguan biologis dan pola asuh
secara psikologis terhadap orang yang terditeksi secara dini.

Dalam kondisi sekarang ini, lanjutnya, banyak orang yang mengalami gangguan
kejiwaan, lebih dahulu mendatangi atau berobat alternatif. Setelah mengalami
tahapan berat, baru mendatangi dokter atau rumah sakit jiwa. Padahal, jika sejak
awal keluarga paasien telah berani konsultasi dengan ahli kejiwaan, sehingga
sejak dini sudah bisa diketahui penyebabnya, termasuk pengobatannya bisa
berjalan cepat.

Achir Yani Hamiod DNSc, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia menambahkan,
gangguan kejiwaan terdiri dari tiga faktor, yang disebut biopsychososial
spiritual. Yaitu gangguan biologik yang mengakibatkan kemampuan otak berkurang.
Kemudian gangguan psikologik yang umunya dialami para anak-anak sekarang atau
anak masa depan, dengan kerasnya persaingan hidup dan semakin merebaknya alih
teknologi dan ilmu saat ini.

Disini sangat memerlukan asuhan dan perawatan para orangtua, yang berawal dari
kepribadian anak yang rendah diri atau tidak mempunyai kepercayaan diri, yang
umumnya akibat stressor berat dan berlanjut ke taraf rasa kegelisahan tinggi..
Sedangkan faktor ketiga, gangguan sosial budaya.

Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Marzoeki Mahdi Bogor, Dr.
Djunaedi Cakrawerdadja mengatakan, orang yang terganggu jiwanya dan berobat ke
RSJ MM Bogor juga meningkat. Tercatat pasien yang datang untuk berobat di RSJ
Bogor itu mencapai 450 orang lebih. Dari jumlah itu, 50 orang adalah pasien
pecandu narkoba dengan terinfeksi penyakit Hepatitis C mencapai 80 persen dan
terinfeksi HIV mencapai 60 persen.

Sedangkan 350 orang pasien karena gangguan jiwa dan 50 orang lainya bersifat
penayanan umum di Rumah Sakit Jiwa(RSJ) MM Bogor. "Memang untuk kasus narkoba,
secara nasional terjadi pula trend peningkatan, dan umumnya terjangkit hepatitis
c dan HIV akibat peralatan seperti jarum suntik saat mengonsumsi narkoba tidak
steril," ujar Djunaedi.

Ketua Panitia Konferensi Nasional Keperawatan Kese-hatan Jiwa I , Dr.Budi Anna
Keliat Skp MapSc, mengatakan, konferensi yang diikuti oleh sedikitnya 200 orang
tenaga medis dan para medis bidang kejiwaan, utusan rumah sakit jiwa, rumah
sakit umum dan puskesmas se Indonesia ini akan dijadikan ajang kesepakatan dan
kesepahaman seluruh tenaga medis dan para medis bidang kejiwaan, pentingnya
sosialisasi gangguan jiwa terhadap masyarakat dan keluarga. Karena saat ini,
penanganan masalah gangguan kejiwaan, dilakukan secara holistik.

Sehingga, harus ditangani sejak dini. Karena banyak kasus, pasien penderita
gangguan kejiwaan, datang setelah dua tahun menderita. Walau, umumnya keluarga
para penderita itu, selalu mengaku baru satu pekan. Mulai si penderita mengalami
gangguan ringan, seperti siswa mulai malas sekolah, gangguan menyesuaikan diri,
kemudian gangguan interpersonal atau hubungan/interaksi kerjasama dengan orang
lain, sampai yang terakhir ketika penderita mulai mengalami gangguan realitas
dan halusinasi.

"Inilah yang selalu dilakukan pihak keluarga, saat penderita sudah mencapai
taraf gangguan realitas di barengi halusinasi, baru datang ke dokter atau rumah
sakit jiwa. Keluhan keluarga penderita yang melakukan hal itu, akan
memperpanjang rendahnya produktivitas masyarakat Indonesia," ujar Budi Anna.
(126)

Skizofrenia
Apa sebenarnya skizofrenia? Siapa saja yang bisa terkena penyakit yang menyerang otak ini? Bagaimana penyakit ini menyerang manusia? Apa saja gejalanya? Pertanyaan-pertanyaan ini kerap melingkupi kaum awam atau keluarga yang salah satu anggota keluarganya menderita skizofrenia.

Menurut situs resmi www.schizophrenia.com, skizofrenia adalah penyakit yang diakibatkan gangguan susunan sel-sel syaraf pada otak manusia.

Umumnya ada dua macam penyakit yang biasa disebut gila ini, yaitu neurosa dan psikosa. Skizofrenia termasuk psikosa. Penyebabnya sampai kini belum diketahui secara pasti, namun disebutkan faktor keturunan bisa menjadi salah satu penyebab.

Bahkan, faktor genetik tampaknya sangat dominan. Menurut penelitian, apabila saudara ayah-ibu menderita skizofrenia, maka anak memiliki potensi sebesar 3% untuk mengidap skizofrenia. Apabila ada salah satu saudara sekandung yang menderita, maka anak berpotensi menderita skizofrenia sebesar 5%-10%.

Lantas bagaimana dengan saudara kembar? Apabila tidak kembar identik, maka potensinya 5%-10%, sementara untuk anak kembar identik potensi menderita skizofrenia sebesar 25%-45%. Sedangkan jika penderita skizofrenia adalah salah satu dari kedua orang tua, maka anak berpotensi sebesar 15%-20%. Skizofrenia bisa menyerang laki-laki dan perempuan. Kebanyakan perempuan yang mengidap penyakit ini adalah mereka yang berusia 20 hingga awal 30-an tahun. Sementara pada kelompok jenis kelamin laki-laki lebih dini, yakni akhir usia remaja hingga awal 20-an tahun.

gangguan kejiwaan

Manusia sebagai makhluk yang memiliki banyak keterbatasan kerapkali mengalami perasaan takut, cemas, sedih, bimbang, dan sebagainya. Dalam psikologi, gangguan atau penyakit kejiwaan akrab diistilahkan psikopatologi. Ada dua macam psikopatologi: (1) neurosis; dan (2) psikosis. Sementara dr. H. Tarmidzi membagi psikopatologi menjadi enam macam, selain dua yang telah tersebut, ia mengemukakan yang lainnya yaitu: psikosomatik, kelainan kepribadian, deviasi seksual, dan retardasi mental.

Neurosis adalah gangguan jiwa yang penderitanya masih menyadari atas kondisi dirinya yang tengah terganggu. Cirri-ciri neurosis ini antara lain: (1) wawasan yang tak lengkap mengenai sifat-sifat dan kesukarannya; (2) mengalami konflik batin; (3) menampakkan reaksi kecemasan; (4) adanya kerusakan parsial pada aspek-aspek kepribadian..

Neurosis dapat muncul dalam beberapa bentuk, diantaranya: (1) Neurasthenia, yaitu gangguan yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental yang kronis sekalipun tidak ditemukan sebab-sebab fisik; (2) Histeria, gangguan jiwa yang ditandai ketidakstabilan emosi, represi, disasosiasi, dan sugestibilitas. Hysteria ini bisa berwujud kelumpuhan atau cramp sebagian anggota badan, hilang kesanggupan bicara, hilang ingatan, kepribadian ganda, mengelana tidak sadar (fugue), atau berjalan-jalan dalam keadaan tidur (somnabulism); (3) Psychasthenia, gangguan jiwa yang ditandai ketidakmampuan diri tetap dalam keadaan integrasi yang normal. Jenis ini antara lain bisa tampil dalam bentuk phobia (takut yang tidak masuk akal), obsesi, dan kompulsi.

Neurosis terjadi bisa disebabkan oleh faktor-faktor organis fisis, faktor psikis dan struktur kepribadian, atau bisa juga karena faktor milieu atau lingkungan. Tetapi yang jelas, terganggunya mental dapat berpengaruh kepada perasaan, pikiran, kelakuan, dan juga kesehatan tubuh.

Sementara psikosis adalah penyakit kejiwaan yang parah, karena di tingkatan ini penderita tidak lagi sadar akan dirinya. Pada penderita psikosis umumnya ditemukan cirri-ciri sebagai berikut: (1) mengalami disorganisasi proses pikiran; (2) gangguan emosional; (3) disorientasi waktu, ruang, dan person; (4) terkadang disertai juga dengan halusinasi dan delusi.

Psikosis bisa muncul dalam beberapa bentuk, diantaranya: (1) Schizophrenia, yaitu penyakit jiwa yang ditandai dengan kemunduran atau kemurungan kepribadian; (2) Paranoia, yaitu gila kebesaran atau merasa lebih dari segalanya; dan (3) maniac depressive psychosis, yakni perasaan benar atau gembira yang mendadak bisa berubah sebaliknya menjadi serba salah atau sedih.

Dalam khazanah keislaman, dikenal beragam bentuk penyakit kejiwaan. Diantaranya telah dicatatkan oleh al-Ghazali, yaitu: riya’ (pamer), jidl (suka debat), khusumat (suka bermusuhan), kidzb (dusta), ghibbah (suka cari kesalahan orang), namimah (adu domba), ghadhab (pemarah), hasud (suka menghasut), hubbud-dunya (matre), bakhil (pelit), kibr (sombong), dan ghurur (lalai urusan akhirat karena urusan dunia).

Ditinjau dari perspektif al-Qur’an, psikopatologi ini timbul karena manusia tidak mau mempergunakan potensi jasmani maupun rohani yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya secara baik. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (al-A’raf, VII: 179).

Source:
Sururin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Menelusuri Halusinasi Penderita Schizophrenia

SEDIKIT orang tahu bahwa John Forbes Nash Jr., peraih hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 1994, adalah seorang penderita schizophrenia, sampai kemudian sebuah film yang digarap apik oleh sutradara Hollywood Ron Howard membeberkan kisah hidupnya dalam film A Beatiful Mind. Di film yang dibintangi Russell Crowe tersebut, sosok John Nash mengundang banyak simpati. Tapi di Indonesia, penderita schizophrenia masih kurang mendapatkan tempat. Padahal penyakit ini bisa disembuhkan.


Schizophrenia merupakan penyakit otak yang sanggup merusak dan menghancurkan emosi. Selain karena faktor genetik, penyakit ini juga bisa muncul akibat tekanan tinggi di sekelilingnya. Menurut psikolog Prof. Dr. Dadang Hawari, jumlah penderita schizophrenia di Indonesia adalah tiga sampai lima per 1000 penduduk. Mayoritas penderita berada di kota besar. Ini terkait dengan tingginya stress yang muncul di daerah perkotaan.
Schizophrenia memiliki basis biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini diyakini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter. Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, jenis neurotransmitter yang lain, juga berperan dalam menimbulkan gejala schizophrenia.
Dadang mengakui bahwa schizophrenia dapat dipicu dari faktor genetik. Namun jika lingkungan sosial mendukung seseorang menjadi pribadi yang terbuka maka sebenarnya faktor genetika ini bisa diabaikan. ”Gejala schizophrenia bahkan bisa tidak muncul sama sekali,” ujar Dadang dalam wawancara dengan SH baru-baru ini.
Namun jika kondisi lingkungan malahan mendukung seseorang bersikap a-sosial maka penyakit schizophrenia menemukan lahan suburnya. Pendapat Dadang ini sedikit berbeda dengan data yang dikeluarkan pusat informasi schizophrenia yang beralamat di www.schizophrenia.com. Data tersebut menyebutkan bahwa schizophrenia sama sekali penyakit yang memiliki landasan biologis dan tidak terkait dengan kesalahan pola asuh atau kelemahan kepribadian seseorang.
Namun lepas dari perbedaan tersebut, penyakit schizophrenia memiliki gejala yang serupa. Menurut Dadang, ada dua gejala yang menyertai schizophrenia yakni gejala negatif dan gejala positif. Gejala negatif berupa tindakan yang tidak membawa dampak merugikan bagi lingkungannya, seperti mengurung diri di kamar, melamun, menarik diri dari pergaulan, dan sebagainya. Sementara gejala positif adalah tindakan yang mulai membawa dampak bagi lingkungannya, seperti mengamuk dan berteriak-teriak.
Dalam dua gejala ini, penderita mengalami gangguan berpikir dan sering memiliki khayalan serta halusinasi. Manifestasi dari khayalan ini adalah mengeluarkan perkataan yang bukan-bukan. Halusinasi tersebut benar-benar dapat didengar, dilihat, bahkan dirasakan oleh si penderita.
Seringkali halusinasi mengarahkan tindakan penderita, memperingatkan tentang suatu bahaya atau memberitahu dia apa yang harus dilakukan. Bahkan tak jarang si penderita asyik bercakap-cakap dengan para tokoh yang muncul dalam halusinasi ini.
Menurut Dadang, halusinasi ini merupakan proyeksi dari pikirannya sendiri. Film A Beatiful Mind menggambarkan dengan cukup apik bagaimana John Nash berkomunikasi dengan tokoh-tokoh khayalannya seolah mereka benar-benar nyata. Ia bahkan meyakini dirinya terlibat dalam sebuah konspirasi militer tingkat tinggi.
Para penderita schizophrenia sangat yakin bahwa apa yang ia dengar dan lihat juga didengar dan dilihat oleh lingkungan sekelilingnya. Keyakinan ini, menurut Dadang, kadang menjadi kendala bagi penyembuhannya. Karena jika si penderita masih meyakini halusinasinya maka ia tetap menganggap dirinya waras.
Schizophrenia dapat menimpa siapa pun, terutama orang yang memiliki keturunan secara genetis. Episode kegilaan pertama umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa.
Pada anak yang kedua orang tuanya tidak menderita schizophrenia, kemungkinan terkena penyakit ini adalah satu persen. Sementara pada anak yang salah satu orang tuanya menderita schizophrenia, kemungkinan terkena adalah 13 persen. Dan jika kedua orang tua menderita schizophrenia maka risiko terkena adalah 35 persen.
Data yang ditunjukkan pusat data schizophrenia AS, tiga perempat penderita schizophrenia berusia 16-25 tahun. Data ini memiliki kesamaan dengan pernyataan Dadang yang mengatakan bahwa schizophrenia di Indonesia umumnya menyerang remaja.
Pada kelompok usia 16-25 tahun, schizophrenia mempengaruhi lebih banyak laki-laki dibanding perempuan. Pada kelompok usia 25-30 tahun, penyakit ini lebih banyak menyerang perempuan dibanding laki-laki.

Terapi
Sejak tahun 1950-an sudah ditemukan obat bagi penderita schizophrenia. Obat yang disebut neuroleptics ini mampu mengurangi gejala kegilaan yang muncul pada penderita schizophrenia. Menurut Dadang, obat schizophrenia versi lama hanya menyembuhkan gejala positif schizophrenia, seperti gampang mengamuk dan gemar berteriak-teriak. Sayangnya, obat tersebut tidak menyembuhkan gejala negatif schizophrenia. Penderita schizophrenia yang mengonsumsi obat versi lama masih sering tampak bengong dan gemar melamun.
Sementara obat schizophrenia versi baru, menurut pengakuan Dadang, berhasil menyembuhkan gejala negatif sekaligus positif. Persoalannya, obat yang harus dikonsumsi satu kali sehari tersebut dijual dengan harga 50 ribu rupiah per bijinya. Padahal, penderita schizophrenia harus mengonsumsi obat tersebut antara tiga sampai enam bulan. ”Tergantung pada penyakitnya,” ujar Dadang yang juga telah menulis buku tentang schizophrenia berjudul ”Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizophrenia”.
Selain terapi obat, penderita schizophrenia juga mendapatkan terapi konsultasi. Melalui konsultasi, maka pasien bisa dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan lingkungannya. Keluarga dan kawan merupakan pihak yang juga sangat berperan dalam membantu pasien bersosialisasi.
Dalam kasus schizophrenia akut, pasien harus mendapat terapi khusus dari rumah sakit. Kalau perlu, ia harus tinggal di rumah sakit tersebut untuk beberapa lama sehingga dokter dapat melakukan kontrol dengan teratur dan memastikan keamanan penderita.
Tapi sebenarnya, yang paling penting, adalah dukungan dari keluarga penderita. Karena jika dukungan ini tidak diperoleh, bukan tidak mungkin para penderita mengalami halusinasi kembali. Menurut Dadang, sejumlah penderita schizophrenia juga sering kambuh meski telah menyelesaikan terapi selama enam bulan. Karena itu, agar halusinasi ini tidak muncul lagi, maka penderita harus terus menerus diajak berkomunikasi dengan realitas.
Masih ingat wajah lega Jennifer Connelly, yang memerankan Alicia Nash dalam A Beatiful Mind, saat menyaksikan sang suami bisa berdiskusi asyik dengan para mahasiswa di kampusnya? John Nash membuktikan kepada dunia bahwa penderita schizophrenia bisa disembuhkan. Meski halusinasi itu masih sering melintas dalam batok kepalanya, tapi toh, berkat bantuan istri dan kawan-kawan dekatnya, Nash berhasil mengabaikan halusinasi tersebut. (san)

KAKAKU MENDERITA SCHIZOFERONIA

Pdpersi, Jakarta - Kesabaran dan kepasrahan menghadapi pahitnya hidup ini, memang akan berbuah manis. Begitulah yang dialami Susanti Winarni Handoko. Perempuan kelahiran Jakarta, 22 Mei 1934 ini, telah ditinggal ayahnya ketika berusia dua setengah tahun. Bersama Mami dan kakaknya semata wayang, Chrisantini, hidup yang penuh tantangan inipun dijalaninya dengan sabar dan pasrah.

Setelah dewasa, kemalangan yang datang bertubi-tubi pun tak dapat ditolaknya. Kakaknya menderita schizophrenia, penyakit yang saat itu belum dipahami masyarakat, termasuk dokter. Bukan hanya itu, tak lama kemudian Maminya meninggal dunia, dan suaminya pun berpulang ke alam baqa. Jadilah dia satu-satunya pencari nafkah bagi ketiga anaknya dan kakaknya yang sedang ?sakit?.

Hingga kini, puluhan tahun waktu telah berlalu. Memang bukan waktu yang singkat untuk menjalani kehidupan yang cukup getir. Tetapi Tuhan memang tidak buta. Tuhan telah memberikan jalan terbaik pada manusia yang sabar, tekun, ulet dan tabah. Walaupun kehidupannya sangat keras, Susanti kini boleh berbangga. Dia telah berhasil mencetak anak-anaknya menjadi orang-orang yang sukses. Anak pertamanya, Herlina Y Handoko PhD (38), mendapat beasiswa ke USA untuk mendalami rekayasa genetika. Anak kedua, Haryadi (33), bekerja di General Electric, Jepang. Dan yang bungsu, Dr Iwan Suryadi Handoko (31), bekerja di satumed.com.

Berikut penuturan Susanti, saat ditemui pdpersi.co.id di kediamannya yang asri, di bilangan Kota, Jakarta Barat, Jumat (27/10).

Sering Marah-marah dan Selalu Curiga

Awalnya, aku tak melihat tanda-tanda serius pada kakakku, Chrisantini, bahwa dia akan menderita schizophrenia. Aku memang tidak begitu akrab dengan Chris, karena selisih umur yang jauh berbeda. Chris dilahirkan 14 Desember 1925, perbedaan usia kami hampir 10 tahun. Barangkali itu sebabnya aku juga tak terlalu memperhatikan kondisi Chris.

Namun, disaat situasi ekonomi negara ini semrawut akibat pemberontakan G30S/PKI, Chris mulai berubah. Di tahun 1966 itu, Chris --yang saat itu berusia 41 tahun namun belum menikah-- masih bekerja, kalau tidak salah di PT Kimia Farma, Jakarta. Tetapi, sudah tampak keanehan pada perangai Chris. Dia seperti orang depresi, murung, sering mengunci diri dalam kamar, dan selalu timbul rasa curiga pada orang lain, terutama padaku dan Mami.

Tak lama kemudian, Chris keluar dari pekerjaannya. Ketika Mami menanyakan alasannya, dia bilang, banyak karyawati baru sehingga karyawati yang sudah tua tersingkir. Dan dia merasa tersinggung. Padahal prestasinya cukup lumayan. Mungkin saat itu dia stres. Tambahan lagi, sampai setua itu Chris belum berkeluarga. Aku tidak tahu kenapa Chris belum menikah. Padahal waktu itu dia mudah bergaul dengan siapa saja, dan banyak temannya, baik pria maupun wanita.

Prihatin melihat keadaannya, tahun 1967 Mami membawa Chris ke dokter. Sayangnya, waktu itu dokter tidak tahu penyakit yang diderita Chris. Maklumlah, saat itu perkembangan ilmu kedokteran belum sepesat sekarang. Dokter yang memeriksa Chris hanya mengatakan bahwa Chris menderita penyakit saraf.

Dia mulai sering marah-marah dan uring-uringan. Dan semua amarah itu ditujukannya pada Mami, karena hanya dia dan Mami yang ada di rumah. Sementara aku, pada waktu itu, masih bekerja hingga sore hari. Tetapi, sejak anak keduaku lahir, aku berhenti bekerja karena ingin mencurahkan seluruh waktu untuk keluargaku.

Dokter Tak Dapat Menjelaskan

Nah, sejak aku lebih sering di rumah, mulailah aku merasakan sesuatu keanehan pada Chris. Dia selalu marah-marah, curiga dan berpandangan negatif terhadapku. Kalau aku mengatakan sesuatu, selalu ditanggapi yang sebaliknya. Aku jelaskan padanya, bahwa dia salah mengerti. Tapi Chris tidak mau mengerti. Saking dongkolnya, aku pun mulai marah-marah pada dia. Eh, Chris malah menuduh aku dan Mami berkomplot menyudutkannya. Padahal aku dan Mamiku tak bermaksud seperti yang dituduhkannya.

Sejak kejadian itu, Mami, aku dan suamiku berembug untuk membawanya ke dokter. Kami pun membawa Chris ke dokter terdekat, dr We Wang. Oleh dokter, Chris diberi obat. Lumayan mujarab juga obat itu. Dalam satu hingga dua minggu, terlihat perubahan pada perilakunya. Chris jarang lagi menuduh aku melakukan hal-hal yang merugikannya. Lama kelamaan, pekerjaan sehari-hari seperti mencuci dan menyeterika, sudah dapat ditangani sendiri oleh Chris. Kami tentu senang dong atas perubahan itu, karena dia dapat membantu pekerjaan di rumah.

Tapi kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Satu hingga dua bulan kemudian, kadangkala tabiat Chris muncul lagi. Sering marah-marah, curiga dan berprasangka buruk, terutama pada Mami dan aku. Nah, apabila ?kumat?nya datang, aku membawanya lagi ke dokter. Dokter pun memberikannya lagi kapsul yang harus dimakan tiga kali satu hari. Celakanya, ketika aku menanyakan tentang penyakit Chris, dokter hanya bilang dia menderita penyakit saraf, tanpa dapat menjelaskan mengapa penyakit itu bisa menyerang Chris, dan bagaimana cara merawatnya.

Begitulah seterusnya, sampai beberapa tahun kemudian. Jika Chris sedang kambuh, kami selalu membawanya kembali ke dokter. Mungkin inilah kesalahan yang kami lakukan. Sebab, setelah kondisi Chris agak membaik, aku tidak memberi obatnya lagi secara kontinyu. Obat tersebut aku buang. Baru setelah kambuh, aku bawa lagi dia ke dokter.

Aku sendiripun tidak mempunyai pengetahuan tentang penyakit yang diidap oleh kakakku itu. Aku juga tidak membawa Chris ke paranormal atau Shinse, karena aku memang tidak percaya pada mereka. Aku lebih percaya pada dokter. Namun, aku pun menyesalkan sikap dokter yang tidak mau memberi tahu bagaimana mengatasi penyakit Chris.

Seiring dengan perjalanan waktu, aku harus menerima kenyataan pahit. Sekitar tahun 1980-an, Mami meninggal dunia dan tahun 1985 suamiku pun menyusulnya. Sejak Mami dan suamiku meninggal, akulah tulang punggung keluarga. Aku harus mencari nafkah untuk membesarkan ketiga anakku. Belum lagi, beban merawat Chris yang ?sakit?nya semakin tak jelas. Aku pun mulai mencari pekerjaan. Untunglah, aku diterima di PT Alindo, sebuah perusahaan travel. Dari pekerjaan itu, aku dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anakku, serta biaya perawatan Chris.

Tak bisa dipungkiri, kadangkala muncul rasa kesal dan geram pada Chris. Pernah suatu waktu, aku bertengkar dengannya. Rasanya aku ingin mencekik leher Chris, saking geramnya. Tapi untunglah aku segera sadar, jika tidak sabar merawatnya, aku pun akan tertular penyakit Chris. Akhirnya aku berprinsip, bagaimana agar tidak terpengaruh oleh sakit kakakku itu. Aku pun mulai berpikir agar tidak jatuh sakit. Karena anak-anak tidak mempunyai ayah lagi. Mau tidak mau aku harus mencari terobosan. Hanya kita sendirilah yang dapat menolong diri kita, orang lain tidak dapat menolong. Dan bila stres datang saat menghadapi Chris, aku segera minum air putih 2 hingga 3 teguk. Jantungku pun terasa agak tenang.

Penyakit Itu Ternyata Schizophrenia

Waktu pun berjalan terus. Tak terasa, anakku yang sulung, Herlina Y Handoko, tahun 1980 diterima sebagai mahasiswi di Fakultas Biologi Jurusan Genetika Universitas Indonesia (UI). Sedangkan anakku yang paling bungsu, Iwan, di terima di Fakultas Kedokteran Ukrida. Sejak saat itu, aku dan kedua anakku itu mencari tahu apa penyakit Chris.

Mulailah aku berburu informasi lewat koran-koran, majalah, dan buku-buku. Cukup panjang pencarian kami, sampai di tahun 1988, aku membaca sebuah artikel yang mengupas masalah schizophrenia di salah satu media massa nasional. Aku sempat kaget membacanya. Betapa tidak, dalam artikel itu dijelaskan ciri-ciri penyakit schizophrenia, yang ternyata mirip dengan yang dialami Chris. Yaitu pemurung, gelisah, dan mudah curiga. Sementara itu, Herlina dan Iwan juga mulai mencari literatur-literatur kesehatan di kampusnya.

Untunglah, perburuan itu tak sia-sia. Dari artikel-artikel dan buku-buku yang aku baca, aku dapat menyimpulkan, bahwa penyakit yang diderita Chris adalah schizophrenia (di Indonesia disebut skizofrenia-red). Penyakit itu memang menahun, atau jika diistilahkan, sebelumnya sudah tanam bibit. Kadang umur 15 tahun seseorang dapat terkena schizophrenia, dan dampaknya baru terlihat beberapa tahun kemudian.

Aku lantas teringat peristiwa yang menimpa keluargaku beberapa tahun yang lalu, saat bapakku meninggal. Ketika itu usiaku dua setengah tahun dan Chris berusia 12 tahun. Semasa hidupnya, Bapak sangat memanjakan Chris. Maklum, Chris anak paling tua. Apapun yang diinginkan oleh Chris, selalu dikabulkannya, bahkan kalau dipikir sampai melebihi batas.

Nah, setelah Bapak meninggal, semua tanggung jawab pun beralih ke Mami. Sebenarnya, Mami telah memberikan perhatian dan kasih sayang yang sama pada Chris dan aku. Tidak pernah membeda-bedakan. Tapi Chris selalu penuh kecurigaan dan menganggap Mami selalu membelaku. Padahal ini semua hanya perasaan dia saja.

Setelah penyakit Chris kami ketahui, Herlina dan Iwan terus mencoba memberi obat-obatan yang dibutuhkan oleh tantenya itu. Apalagi, waktu itu Herlina kebetulan mendapat beasiswa ke Amerika. Dia pun selalu menanyakan perkembangan penyakit tantenya, dan membandingkannya dengan kondisi penyakit itu di sana.

Akhirnya kami memberi sendiri obat-obatan untuk Chris, misalnya valium. Kalau Chris sedang gelisah, kami menambah dosis valiumnya, dan dia pun terlihat lebih tenang. Ini terus dilakukan selama beberapa tahun. Kami memang tidak lagi membawanya ke dokter. Aku dan kedua anakkulah yang merawatnya. Sampai di tahun 1997, Chris terkena stroke dan kepikunan, sehingga harus dirawat di rumah dengan menyewa suster.

Setelah Chris terserang stroke, segala keperluannya dibantu oleh seorang suster seperti makan, minum, memakai baju bahkan sampai ke kamar kecil. Sebelumnya, ini tidak pernah terjadi. Sewaktu masih menderita schizophrenia saja, segala keperluannya seperti mencuci, menyeterika dan mandi dikerjakannya sendiri.

Saat ini, kondisi Chris malah lebih parah. Dia lebih sering berhalusinasi. Seringkali, tiba-tiba dia bilang, ?tuh? ada orang lewat?, atau ?tuh? ada kucing di pohon?. Padahal, setelah aku lihat, semua itu hanya halusinasinya. Tak jarang pula, Chris mengamuk tiba-tiba. Tapi semua itu aku hadapi dengan sabar. Aku sudah bertekad merawat Chris sampai akhir hayatnya.

Memang, merawat penderita schizophrenia bukan hal yang mudah. Perlu kesabaran dan ketabahan ekstra. Kita juga harus mengusahakan agar posisi kita lebih rendah atau sama dengan si penderita. Karena dengan memposisikan diri seperti itu, penderita tidak merasa tersinggung atau digurui. Orang tua juga jangan merasa malu apabila anaknya menderita penyakit schizophrenia.

Yang lebih penting lagi, jangan berhenti berobat. Jangan meniru pengalaman yang aku alami, hanya memberi Chris obat, jika dia kambuh. Ini malah membuat penyakit itu semakin parah. Aku juga ingin media massa lebih mempublikasikan tentang schizophrenia pada masyarakat. Agar masyarakat tahu, jika segera diobati, sebenarnya schizophrenia bisa diminimalkan. Penderita pun paling tidak dapat menolong dirinya sendiri, tidak menyusahkan orang lain.

Bagaimana pun juga, pantaslah jika kita merasa hormat pada Susanti, ibu yang ketiga anaknya telah memasuki jenjang sukses. Kendati banyak himpitan yang dirasakannya sejak kecil, tidak mengurangi semangat dan ketabahannya dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh duri ini.

Kini, di rumahnya yang sederhana namun asri, perempuan yang telah penuh kerut-merut di wajahnya ini, merawat kakaknya. Kakak yang sudah 33 tahun menderita schizophrenia, penyakit yang oleh orang awam diidentikan dengan ?gila?, karena tidak dapat membedakan antara kehidupan yang nyata dengan halusinasi maupun delusi atau waham. Susanti tak perduli dengan stigma yang terbentuk di masyarakat, tentang penderita schizophrenia. Dia tidak akan menelantarkan atau memasukkan sang kakak ke rumah sakit jiwa, seperti yang banyak dilakukan masyarakat.

BUKAN SUARA IBLIS

Skizofrenia adalah sejenis penyakit jiwa yang ditandai oleh ketidakacuhan dan halusinasi yang cenderung bersifat destruktif. Para penderitanya selalu merasa dihantui waham (pikiran-pikiran/prasangka yang salah dan bertentangan dengan dunia nyata, tidak berdasarkan logika), yang menjelma suara-suara gaib dalam kepalanya. Umumnya suara-suara itu menyuruh penderita melakukan sesuatu yang negatif dan mencelakakan diri sendiri atau orang lain.

Contoh paling gres kasus skizofrenia mungkin dapat dilihat pada peristiwa yang belum lama berselang terjadi di Bandung, di mana seorang ibu tega membunuh tiga orang anaknya. Dalam keterangannya kepada polisi, ibu ini mengaku, bahwa ada "suara-suara" yang memerintahkannya untuk membunuh anak-anaknya itu. Tentu saja, demi keadilan dan penegakan hukum, pernyataan sang ibu masih harus dibuktikan kebenarannya oleh para saksi ahli.

Skizofrenia tergolong penyakit jiwa yang parah dan tak bisa disembuhkan. Upaya pengobatan terhadap pasien melalui pemberian obat-obat penenang hanyalah untuk menenangkan (sementara)perasaan dan mengurangi kadar halusinasi pasien. Konon, belum pernah ada pengidap skizofrenia yang sembuh total. Jika pun ada yang "selamat", itu artinya penderita tersebut berhasil "berteman" dengan penyakitnya, dengan suara-suara gaib itu, dengan halusinasi-halusinasinya.

Seorang penderita skizofrenia, Lori Schiller, membukukan pengalamannya selama masa-masa sulit berjuang melawan penyakitnya ini. Bersama Amanda Bennet, reporter Wall Street Journal, ia menuturkan sepenggal riwayat hidupnya ke dalam buku berjudul The Quiet Room : A Journey Out of The Torment of Madness. Oleh penerbit Qanita, judul tersebut diubah menjadi The Voices of Demons : Suara-suara Iblis (Aneh juga, kalau memang diganti kenapa masih harus memakai judul dalam bahasa Inggris berikut bahasa Indonesianya).

The quiet room adalah sebuah ruang isolasi di rumah sakit tempat Lori pernah menjalani perawatan. Setiap kali "suara-suara gaib" itu menguasai dan membuat Lori kehilangan kendali atas dirinya, para dokter dan perawat akan memasukkannya ke ruang tersebut. Ia baru akan dikeluarkan lagi jika sudah tenang kembali.

Bertahun-tahun Lori menjalani perawatan dengan berbagai macam obat dan terapi. Mulanya, sebagaimana banyak dialami para penderita, Lori dan orang tuanya berkeras menolak kenyataan perihal betapa sakitnya Lori (fase pengingkaran). Mereka tak bisa percaya, bahwa Lori mereka yang manis, pandai, ceria, divonis sakit jiwa.

Terlebih lagi bila dihubungkan dengan kenyataan, bahwa keluarga Schiller adalah keluarga harmonis. Hubungan orang tua dan ketiga anak mereka terjalin hangat. Anak-anak Schiller tak pernah kekurangan cinta dan perhatian dari orang tua mereka. Mereka tumbuh dengan siraman kasih sayang dan limpahan materi.

Faktanya, penyakit Lori bukan disebabkan faktor eksternal (keluarga broken home), walaupun juga bukan tanpa sebab sama sekali. Ternyata setelah dirunut-runut, kecenderungan kelainan jiwa yang diderita Lori pernah juga dialami oleh nenek dan sepupu perempuannya dari pihak ibu. Agaknya, dalam kasus Lori skizofrenia bisa juga disebabkan faktor keturunan.

Sisi paling menarik dari kisah Lori ini ialah semangat juangnya yang tinggi dalam melawan penyakit serta keinginan yang kuat untuk dapat sembuh dan hidup normal kembali. Dukungan moril dari kedua orang tua serta adik-adiknya sangat besar bagi "kesembuhan" Lori. Juga upaya keras dan penuh kesabaran dari para dokter dan perawat rumah sakit mempercepat proses penyembuhan itu.

Untuk menyokong fakta-fakta dan juga membantu merangkai kronologis cerita yang tak semuanya mampu diingat kembali dengan baik oleh Lori, penuturan kisahnya disampaikan pula oleh orang-orang yang terlibat dan mengetahui riwayat penyakitnya : orang tuanya, adik-adiknya, sahabat karibnya, para dokter yang menangani kasusnya. Dari sini, pembaca bisa melihat masalah Lori melalui berbagai perspektif.

Seperti sering kita jumpai dalam kisah-kisah non fiksi (baca : kisah nyata), kesan subyektif terasa kuat sekali. Seolah ingin meyakinkan pembaca akan kebenaran ceritanya, tanpa sadar beberapa hal disampaikan berulang-ulang, sehingga tak jarang malah jadi membosankan. Belum lagi ditambah penggunaan bahasa dan istilah yang terasa terlalu ilmiah dan "kaku". Jika diringkas, membaca kisah Lori Schiller ini seperti menonton siaran talk show Oprah : berusaha menggugah simpati dan empati.

Namun, terlepas dari itu, buku ini cukup bermanfaat sebagai informasi ihwal seputar skizofrenia. Dari pengalaman Lori, kita bisa memetik pelajaran bagaimana sebaiknya menyikapi para penderita penyakit tersebut. Selain upaya medis, yang tak kalah penting adalah perhatian dan cinta yang tulus dari orang-orang terdeka

Istilah schizophrenia tak 'tepat'

Para pakar psikologi klinis di Inggris menghimbau agar istilah penyakit schizophrenia dihapus.

Mereka mengatakan istilah itu tidak bisa dibenarkan secara ilmiah, dan malah menimbulkan stigma bagi pasien sehingga mengurangi peluang untuk sembuh.

Schizophrenia biasanya didefiniskan sebagai penyakit otak, yang penderitanya tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak.

Penderitanya sering mendengar suara atau melihat bayangan sesuatu. Di seluruh dunia, sekitar 1,5% penduduk diperkirakan menderita penyakit ini.

Jumlah ahli psikologi klinis yang menuntut agar istilah ini dihapus kini semakin banyak.

Mereka berpendapat istilah schizophrenia secara ilmiah tidak ada gunanya karena banyak sekali kondisi mental yang tercakup dalam istilah ini.

Pada waktu pasien didagnosa menderita schizophrenia, mereka diberitahu bahwa mereka menderita penyakit kronis yang tak bisa disembuhkan, padahal ... ternyata bisa hidup normal
Jaqui Dillon

Seringkali satu-satunya pengobatan untuk kondisi ini adalah dengan memberi obat.

Dalam keterangan pers di London, para pakar psikologi klinis menjelaskan keberatan mereka atas konsep schizophrenia.

Jaqui Dillon adalah ketua yayasan Hearing Voices Network, yang sedang berusaha memperjuangkan penghapusan istilah ini.

Dia mengatakan salah satu masalah dengan diagnosis schizophrenia adalah stigma yang dihadapi penderitanya.

"Pada waktu pasien didagnosa menderita schzophrenia, mereka diberitahu bahwa mereka menderita penyakit kronis yang tak bisa disembuhkan, padahal pengalaman kami menunjukkan bahwa banyak orang yang meninggalkan sistem pengobatan psikiatri dan berusaha memahami kondisi yang mereka alami, ternyata bisa hidup normal," kata Dillon.

Menurut kalangan yang menentang konsep schizophrenia, kondisi ini tidak disebabkan oleh kerusakan otak.

Menurut mereka banyak orang yang mendengar suara-suara dan menunjukkan gejala paranoid, sebagai reaksi atas peristiwa traumatik ketika mereka masih anak-anak.

0 komentar